Membongkar Supersemar | Part 1

Dikutip dari Buku Membongkar Supersemar

Salah satu peristiwa penting dalam sejarah kita yang masih berada di lembah gelap dan diselimuti kabut tebal semacam itu tentu saja adalah peristiwa yang melatar belakangi munculnya Surat Perintah tanggal 11 Maret 1966 atau yang lebih dikenal dengan sebutan “Supersemar”. Selain latar belakang, masih diselimuti kabut tebal pula, berbagai bentuk dinamika politik yang kemudian bergerak, menyusul lahirnya surat perintah tersebut.

Secara umum kita sadar bahwa ada banyak hal terjadi waktu itu, tetapi bagaimana persisnya seringkali kita tidak tahu. Yang kita tahu bahwa tak lama setelah surat perintah itu muncul, tiba-tiba saja konstelasi politik di Indonesia berubah, dan itupun berubah secara drastis. Di luar pemahaman yang memadai dari rakyat kebanyakan, Presiden Sukarno makin kehilangan pengaruh dan kekuasaannya, orang-orang yang setia pada Bung Karno makin banyak yang ditangkap atau hilang begitu saja, dan tokoh-tokoh baru mulai bermunculan di pucuk pimpinan Republik. 

Sementara itu hubungan antara RI dengan sejumlah negara maju, khususnya Jepang dan Amerika Serikat, makin dekat. Pada saat yang sama munculnya kepemimpinan baru yangmenggantikan kepemimpinan Presiden Sukarno tampak sekali diiringi oleh semakin gencarnya modal asing yang masuk ke Indonesia. Padahal pada masa pemerintahan Bung Karno penanaman modal asing selalu disikapi secara hati-hati demi kepentingan bangsa.

Tidak lama setelah surat itu ditandatangani oleh Bung Karno dan kemudian diterima oleh Letnan Jenderal Soeharto, iklim politik Indonesia menjadi berubah secara drastis. Kurang dari dua puluh empat jam setelah ditandantanganinya surat itu, sipenerima surat langsung membubarkan sebuah partai politik, dalam hal ini Partai Komunis Indonesia (PKI). Selanjutnya ia mengatur keanggotaan partai, menangkap belasan menteri, menyingkirkan orang-orang yang pro-Bung Karno, untuk akhirnya nanti bahkan mendongkel Sang Penandatangan Surat itu sendiri dari kursi kepresidenan. Sungguh tragis.

Kesadaran akan sisi tragis itu akan makin mendalam bila kita ingat bahwa lahirnya Supersemar telah didahului oleh banjir darah sekitar setengah juta rakyat Indonesia yang tewas di tangan sesama warga negara Indonesia. Dalam pembantaian massal yang berlangsung antara pekan ketiga bulan Oktober hingga bulan Desember 1965 dan setelahnya itu, berbagai kekuatan sipil dan militer saling menopang untuk menghabisi hidup sekian banyak orang tanpa ada proses pengadilan. Nyaris tidak ada jejak-jejak kemanusiaan sebagaimana layaknya dalam sebuah masyarakat yang ingin mengedepankan prinsip kemanusiaan yang adil dan beradab.

Kelak kita akan tahu bahwa meskipun pembunuhan itu berskala massal dan di luar hukum, hampir tidak ada satu pihak pun yang secara resmi mengklaim bertanggung jawab danmencoba mencari solusi bersama atas masalah pembantaian itu. Bahkan upaya untuk mengadakan rekonsiliasi antara para korban dan pelaku pun selalu dihalang-halangi dengan berbagai macam alasan. Benar-benar tragis.

Sebenarnya garis besar dari apa yang berlangsung pada hari Jumat tanggal 11 Maret 1966 itu telah secara umum diketahui. Pagi itu, di Istana Merdeka Bung Karno memimpin Sidang Kabinet Dwikora Yang Disempurnakan. Ketika Bung Karnosedang berbicara, Brigadir Jenderal M. Sabur, KomandanResimen Cakrabirawa, masuk ke ruang sidang, ingin memberitahu Brigadir Jenderal Amirmachmud, Pangdam V/Jaya yang juga hadir dalam sidang itu, bahwa di luar sedang ada sejumlah pasukan tak dikenal dan ini menimbulkan kekhawatiran.

Berhubung Brigjen Sabur tidak berhasil meminta Brigjen Amir machmud untuk keluar, ia lalu menyampaikan nota kepada Bung Karno, memberitahu soal pasukan tak dikenal itu. Bung Karno kelihatan menjadi gugup, sehingga kemudian menyerahkan pimpinan sidang ke Waperdam II Leimena, sedang ia sendiri bersama Dokter Soebandrio bergegas meninggalkan Istana. Keduanya segera naik helikopter menuju ke Istana Bogor.

Tak lama setelah mendengar berita tentang apa yang terjadi di Istana itu, Soeharto, satu-satunya menteri yang tidak hadir dalam sidang kabinet dengan alasan “sakit” mengutus tiga orang, yakni Brigadir Jenderal M. Jusuf, Brigadir Jenderal Basuki Rachmat dan Brigadir Jenderal Amirmachmud, untuk menyusul Bung Karno ke Bogor. Pertemuan antara ketiga Jenderal tersebut dengan Bung Karno berakhir dengan ditandatanganinya surat perintah harian, yakni Surat Perintah 11 Maret 1966 (Super-semar), dengan segala kelanjutan dan konsekuensi politis yang telah kita sebut di atas tadi.

Sekian Lanjut Part 2

0 Response to "Membongkar Supersemar | Part 1"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel

Iklan Bawah Artikel