Nilai Kemanusiaan Tan Malaka

Tan Malaka mempunyai perhatian terhadap kondisi dan penderitaan orang lain. Pada awalnya Tan Malaka menjadi guru untuk mengajar tulis menulis anak buruh perkebunan di Deli, Sumatera utara. Di perkebunan itulah semangat radikal dan anti kolonialisme Tan Malaka bersemi, ketimpangan
nasib buruh perkebunan yang didominasi warga pribumi dengan tuan tanah yang warga asing, sangat menyedihkan hatinya. Buruh perkebunan dan warga pribumi tidak hanya ditindas dari borjuis Tionghoa namun juga dua orang borjuis pribumi yaitu sultan Serdang dan Sultan Deli. Kenyataan yang dihadapi di perkebunan Deli sangat memilukan dan menggugah nuraninya sehingga menanmbah keyakinan kepadanya untuk menerapkan ajaran-ajaran komunis. 

Tan Malaka sering kali tampil sebagai pembela kaum buruh. Tan Malaka juga 
membela muridnya yang sedang bekerja, dari kemarahan para pegawai perkebunan Belanda. Menurutnya, apa yang dilakukan muridnya hanya pekerjaan sambilan untuk memperoleh uang saku. Hal terpenting bagi muridnya adalah memperoleh pendidikan yang baik.

Pertentangan Tan Malaka dengan para pemilik perkebunan berpangkal pada empat masalah, yaitu warna kulit, pendidikan anak buruh, tulis menulis dalam surat kabar di Deli, dan hubungan Tan Malaka dengan buruh perkebunan. Semua ini bersumber pada pertentangan Belanda-kapitalis penjajah dengan Indonesia buruh jajahan. Pengalamannya setahun di perkebunan Deli membawa perubahan tentang keadaan jiwanya. Tan Malaka akhirnya memutuskan untuk berhenti dari pekerjaannya sebagai guru di perkebunan Deli, dan ia pergi ke jawa.

Tan Malaka akhirnya sampai di Semarang pada bulan juni 1921, kemudian melanjutkan perjalanannya ke Yogyakarta. Di Yogyakarta Tan Malaka membuat proposal sekolah bagi pribumi. Rancangan sekolah itu dikirim ke berbagai tokoh-tokoh pribumi termasuk Semaoenn. Semaoenn berkata pada Tan Malaka untuk pindah kesemarang saja. 

Berangkatlah Tan Malaka ke Semarang untuk mendirikan sekolah rakyat bersama Semaoen. Ketika Semaoen mengadakan rapat istimewa bagi anggota-anggota Serikat Islam Semarang. Namun ketika sampai di Semarang, Tan Malaka jatuh sakit, dan istirahat di rumah Semaoen, kemudian dibawa kerumah sakit. 

Dalam rapat ini Semaoen mengusulkan untuk mendirikan sebuah perguruan, usulan ini diterima baik dan pendaftaran murid dimulai hari itu juga, dan gedung sekolahnya sementara di pakai gedung Sarikat Islam Semarang, dalam dua hari muridnya sudah terkumpul 50 orang. Oleh Semaoen, Tan Malaka diserahi mengurus sekolah ini. Sekolah ini akhirnya di buka pada 21 juni 1921. Sekolah ini kemudian dikenal dengan “Sekolah Tan Malaka”. Buku-buku yang dipakai sebagai bahan pelajaran merupakan sumbangan dari Nyonya Sneevliet. 

Sekolah Tan Malaka mempunyai ciri-ciri khusus yang tidak dimiliki sekolah-sekolah lain. Mereka dilatih matang untuk berorganisasi dan memupuk solidaritas dengan temannya. Murid-murid juga diajarkan untuk memperhatikan kaum yang terhina. Kepada murid-muridnya Tan Malaka menanamkan cita-cita agar setelah dewasa berkewajiban untuk membela dan membebaskan kaum proletar dari penindasan. Murid-murid yang pandai dan melitan mendapat perhatian yang istimewa dari Tan Malaka. Di sekolah digalakan penerbitan majalah yang para redaksi dan pengelolanya adalah murid-muridnya. Sekolah-sekolah Tan Malaka tidak hanya berkembang di Pulau Jawa namun sampai di luar jawa yaitu ternate. 

Sukses yang dicapai Tan Malaka dengan sekolahnya dijelaskan dalam brosur yang diterbitkan pada 1921 (Tan Malaka 1921). Dalam brosurnya diterangkan bahwa sekolah  yang didirikannya tidak saja biayanya lebih murah, dan pelajaran yang diterimanya lebih baik, namun yang terpenting adalah meningkatkan kejiwaan murid-muridnya. Sekolah ini bertujuan memberi bekal yang cukup agar anak-anak didik dapat mencari 
penghidupannya dalam dunia kapitalis (dengan memberikan pelajaran berhitung, menulis, membaca, sejarah, ilmu bumi, bahasa Jawa, Melayu, Belanda, dsb). Memberikan hak pada murid-murid untuk bersuka cita melalui kehidupan berorganisasi menunjukan kewajibannya terhadap berjuta-juta kaum kromo. 

Di samping mengurus sekolah Tan Malaka aktif di organisasi-organisasi seperti Sarekat Islam (SI), Serikat Buruh Kereta Api (VSTP). Tan Malaka akhirnya diangkat menjadi Wakil Ketua Serikat Buruh Pelikan (Tambang) Cepu yang didirikan oleh Semaoen.Dengan keatifan Tan Malaka dalam meprakarsai dan memimpin pemogokan umum yang mengikutsertakan semua buruh Indonesia di Yogyakarta16. Sepak terjang Tan Malaka akhirnya mulai diperhatikan pemerintah kolonial Belanda. Ketika Tan Malaka mengunjungi sekolah di Bandung pada 13 Februari 1922, dia ditangkap oleh PID (Polisi Rahasia Belanda). Tan Malaka dibawa ke Semarang. Di Semarang Tan Malaka ditanya aksinya di perguruan, brosur yang ditulis di Deli, usahanya yang menyatukan komunis dengan kaum Islam di Sarekat Islam, pemogokan dan menggerakan serikat pekerja. Pemerintah Hindia Belanda menghubungkan tindakan dilakukan Tan Malaka dengan program Moscow yang dapat meruntuhkan kekuasaan Belanda.

Pada 2 Maret 1922, Tan Malaka kemudian dijatuhi tindakan administrasi externeering dan interneering. Pemerintah Hindia Belanda bermaksud mengasingkan Tan 
Malaka ke Kupang, namun Tan Malaka meminta agar ia dapat meninggalkan Indonesia. Permintaan ini dikabulkan sehingga pada 10 Maret 1922, Tan Malaka pergi meninggalkan Indonesia. Tan Malaka memutuskan pergi ke Belanda.

0 Response to "Nilai Kemanusiaan Tan Malaka"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel

Iklan Bawah Artikel