Pandangan Para Mufassir Terhadap Al-Qur’an Surat Ali Imran Ayat 191

jejak Pendidikan- Dari uraian penjelasan mengenai kedua ayat diatas dapat dipahami bahwa terdapat tanda-tanda kebesaran Allah dalam penciptaan langit dan bumi seisinya bagi orang yang berakal yang mau mengingat dan memikirkannya dalam keadaan duduk, berdiri, berbaring dan sebagainya. Berikut ini tafsiran para ulama mengenai ayat tersebut melalui ijtihadnya:

a. Syaikh Imam al-Qurthubi

Pada ayat ini Allah menyebutkan tiga keadaan yang sering dilakukan oleh manusia pada tiap-tiap waktunya.Dikatakan Rasulullah selalu berdzikir kepada Allah dalam setiap keadaannya. Dzikir dalam arti umum dapat dilakukan dalam berbagai keadaan, walaupun ketika berada di kamar mandi atau tempat-tempat kurang baik, karena pahalanya akan tetap ditulis oleh malaikat tanpa melihat lokasi tempat berdzikir.

Pendapat ini dihukumi oleh para ulama dengan makruh beralasan, karena berdzikir kapada Allah pada tempat-tempat seperti itu mengurangi kesantunan terhadap Allah, misalnya dengan membaca Al-Qur‟an di kamar mandi, bukankah akhlak kita mencegah perbuatan seperti itu. Para ulama berpendapat dzikir dalam konteks ini diartikan dengan shalat bahwa kewajiban shalat dilakukan dengan berdiri, namun apabila tidak sanggup dengan duduk, dan berbaring jika tidak kuasa untuk duduk.

b. Prof. Dr. Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy

Orang yang berakal (Ulūl-albāb) adalah orang yang memperhatikan penciptaan langit dan bumi beserta isi dan hokum-hukumnya, lalu mengingat penciptanya yakni Allah, dalam segala keadaaan.Kemenangan dan keberuntungan hanyalah dengan mengingat kebesaran Allah serta memikirkan segala makhluk-Nya yang menunjuk kepada adanya Sang Khaliq yang Esa.Yang memiliki ilmu dan kodrat, yang diiringi oleh iman dan taqwa.

Dalam kegiatan tafakkur mereka juga mengingat Allah seraya lisannya berucap memuji keagungan dan kebesaran-Nya atas ciptaan yang mengandung hikmah dan kemashlahatan. Masing-masing orang akan memperoleh pembalasan atas amal perbuatannya kelak, baik itu amal shalih maupun buruk.

c. Prof. Dr. Hamka

Orang yang berpikiranartinya orang yang tidak pernah lepas dari mengingat Allah, baik dalam keadaan berdiri, duduk atau berbaring.Kata yadzkurūna berarti ingat berpokok pada kata dzikir.Disebutkan pula, bahwasanya dzikir hendaklah bertali diantara sebutan dan ingatan.Kita mampu menyebut Asma Allah dengan mulut karena telah teringat terlebih dahulu dalam hati.Sesudah pengelihatan atas kejadian langit dan bumi, atau pergantian siang dan malam, langsungkan ingatan kepada yang menciptakannya.Karena jelaslah dengan sebab ilmu pengetahuan bahwa semuanya itu tidaklah ada yang terjadi sia-sia atau secara kebetulan.Kegiatan mengingat (tadzakkur) itu berhubungan dengan kegiatan memikirkan (tafakkur).

Lanjutan perasaan setelah mengingat dan berpikir, yaitu tawakkal dan ridla, berserah diri dan mengakui kelemahan.Seyogyanya bertambah tinggi ilmu seseorang bertambah ingatlah kepada Allah.Sebagai alamat pengakuan atas kelemahannya dihadapan Allah, timbullah bakti dan ibadat sebagai hamba kepada penciptanya.

d. M. Quraish shihab

Ayat tersebut menjelaskan sebagian dari ciri-ciri siapa yang dinamai Ulūl-albāb. Mereka adalah orang baik laki-laki atau perempuan yang terus-menerus mengingat Allah, dengan ucapan dan atau hati dalam seluruh situasi dan kondisi apapun.Obyek dzikir adalah Allah, sedangkan obyek akal pikiran adalah seluruh makhluk ciptaan-Nya.Akal diberi kebebasan seluas-luasnya untuk memikirkan fenomena alam, dan terdapat keterbatasan dalam memikirkan dzat Allah.

e. Ahmad Mustafa al-Maragi

Ulūl-albāb adalah orang-orang yang mau menggunakan pikirannya, mengambil faedah darinya, mengambil hidayah darinya, menggambarkan keagungan Allah dan mau mengingat hikmah akal dan keutamaannya, di samping keagungan karunia-Nya dalam segala sikap dan perbuatan mereka, sehingga mereka bisa berdiri, duduk, berjalan, berbaring dan sebagainya. Mereka tidak lalai untuk mengingat Allah dalam sebagian waktunya, merasa tenang dengan mengingat Allah dan tenggelam dalam kesibukan mengoreksi diri secara sadar bahwa Allah selalu mengawasi mereka.

Seorang mukmin yang mau menggunakan akal pikirannya, selalu menaruh pengharapan hanya kepada Allah melalui pujian, doa dan ibtihal, setelah melihat bukti-bukti keagungan Allah yang menunnjukkan keindahan hikmah. Mereka tahu bagaimana berbicara dengan Tuhan ketika telah mendapatkan hidayah terhadap sesuatu terkait dengan kebajikan dan kedermawanan-Nya dalam menghadapi ragam makhluk-Nya.

Berdasarkan beberapa penafsiran yang diberikan oleh para mufassir, dapat dipahami bahwa manusia diberikan hidayah berupa akal untuk digunakan sebaik-baiknya dalam. Diantara tugas atau kegiatan akal yang disebutkan dalam ayat di atas adalah bertafakur memikirkan ciptaan Allah.Merekalah yang dalam Al-Qur‟an disebut orang yang berakal (Ulūl-albāb), yang memiliki akal kuat untuk digunakan mengingat dan memikirkan ciptaan Sang Khaliq di alam semesta.

Ulūl-albāb adalah orang yang menggabungkan potensi dzikir dan pikir, mereka selalu berdzikir mengingat Allah dalam berbagai situasi dan kondisi baik dalam suka maupun duka, sakit ataupun sehat, sempit atau lapang dalam segala keadaan duduk, berdiri sampai berbaring. Mereka tidak pernah memutus dzikir kepada Allah, sebagai bentuk dzikir mengingat Allah bukan sekedar menyebut asma-Nya melalui lisan, melainkan dzikir dengan hati, lisan dan anggota badan.

Sedangkan berpikir, bisa dengan membaca, merenungi dan memahami segala yang ada di langit dan bumi yang berisi rahasia-rahasia Ilahi.Terdapat berbagai manfaat dan hikmah-hikmah yang menunjukkan kebesaran, kekuasaan, ilmu dan rahmat Sang Khalik yang patut disyukuri dan dijaga.
Dengan bekal akal, manusia bisa membaca, mengetahui, memikirkan, meneliti, menelaah fenomena-fenomena yang ada kemudian menghasilkan suatu pengetahuan atau ilmu. Penemuan dalam berbagai ilmupengetahuan dan teknologi tersebut mengantarkan orang yang berakal untuk mensyukuri dan meyakini segala ciptaan Allah amat bermanfaat dan tidak ada yang sia-sia.

Dalam buku ensiklopedi Al-Qur‟an dinyatakan, orang yang memiliki aktivitas mental dan menggunakannya untuk menatap ayat-ayat Allah disebut Ulūl-albāb. Mawlana Muhammad „Ali dalam tafsirnya mengatakan, bahwa konsekuensi berpikir dan berdzikir adalah menuntut ilmu. Melalui ilmu nantinya akan diketahui mana yang baik dan buruk, ilmu sebagai penerang menuju jalan yang terang dan benar. Oleh sebab itu, diantara orang yang terpesosok dalam neraka adalah karena tidak memfungsikan akalnya dengan baik ketika ia hidup di dunia.

Sumber:
lihat di (Pandangan Para Mufassir Terhadap Al-Qur’an Surat Ali Imran Ayat 190)

0 Response to "Pandangan Para Mufassir Terhadap Al-Qur’an Surat Ali Imran Ayat 191"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel

Iklan Bawah Artikel